Senin, 04 Mei 2009

Hitam Putih Kotaku
Cerpen Rismiyana


Hujan baru saja reda. Angin berhembus dari utara. Seperti biasa aku berdiri di bawah tali jemuran yang berseliweran di atas kepalaku. Memandang ikan-ikan di kolam dan sesekali awan yang berlarian di langit. Menunggu saat adzan Ashar dikumandangkan.
Kotaku dikenal dengan julukan Kota Seribu Sungai. Namun, aku lebih senang menyebutnya Kota Seribu Mesjid. Bukan hanya di kotaku, di sepanjang jalan Banjarbaru, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, dan kota-kota kecil lainnya, hal yang sangat mudah ditemui adalah mesjid! Kalimantan Selatan, bagiku adalah Propinsi Seribu Mesjid.
Karena tekstur tanah kotaku seperti pada umumnya kota-kota di Kalimantan Selatan adalah rawa. Tanah berair dan datar. Maka, ketika adzan dikumandangkan dari mesjid-mesjid itu, suara adzan seakan memenuhi segala penjuru. Mendengung, bergemuruh.
Sambil menengadah, memandang gumpalan-gumpalan awan berarak, mataku memejam beberapa saat. Ya Allah.., seandainya mata dapat memvisualisasikan wujud malaikat, mungkinkah yang akan terlihat pada setiap adzan dikumandangkan seperti saat ini adalah ribuan malaikat yang sibuk berseliweran mencatat pahala? Pahala bagi muadzin di mesjid-mesjid dan surau-surau itu, pahala bagi orang-orang yang dengan khidmat mendengarkan kemudian berdoa, dan pada mereka yang bergegas memenuhi seruan muadzin.
Tiba-tiba HP di saku gamisku bergetar. Ada SMS masuk.
Aww. Ka, ulun handak batamu Pian. Ulun ada masalah serius. Pabila kawa?
Pengirim SMS itu adalah Aya, adik binaanku. Setiap sabtu aku biasanya memberi kajian di sekolahnya. Ada masalah apa? Seserius apa masalah yang ingin dibicarakannya. Kebetulan sore ini aku belum memiliki agenda. Aku bisa memintanya menemuiku di dekat gerbang sekolahnya. Tapi tiba-tiba HP di tanganku kembali bergetar. Satu lagi SMS masuk.
Aww. Aulia sore ini kakak ada jadwal presentasi buletin Al Iman di Majelis Taklim Al Husnah di Pegustian, tapi kendaraan kakak mogok. Bisakah Aulia antar kakak ke sana?
Ternyata SMS dari Kak Aisyah. Setiap Selasa sore dia memang rutin mengunjungi MT Al Husnah. Bukan dia yang akan berceramah, tapi ustadzah Laila. Dia datang karena diberikan kesempatan menyebar buletin keislaman Al Iman dan mempresentasikannya kurang lebih 15 menit pada ibu-ibu peserta pengajian.
Www. InsyaAllah bisa.
Setelah mengirim balasan ke Kak Aisyah, kuketik lagi SMS untuk Aya.
Www. InsyaAllah kakak ada waktu lusa, siang jam 3. Bubaran sekolah, jangan langsung pulang. Tunggu kakak di gerbang.

Aku merasa kakiku mulai kesemutan. Mangkuk dupa yang berada di sebelah kananku dan dinyalakan saat dimulai pembacaan Shalawat Burdah tadi, kini ditiup angin tepat ke arahku. Aku menahan napas. Aku memang menyukai wangi-wangian terutama wangi mawar, tapi tidak wangi dupa! Wangi dupa membuat perutku serasa diaduk. Sesuatu terasa mendesak-desak dari pangkal tenggorokanku.
Ustadzah Laila telah membaca doa selamat. Sebentar lagi beliau akan menyelesaikan ceramahnya. Itu artinya Kak Aisyah sebentar lagi akan dipersilahkan mempresentasikan isi buletin Al Iman yang isinya selalu menyerukan kaum muslimin untuk menerapkan syariat Islam. Buletin Al Iman siap-siap kubagikan pada ibu-ibu peserta pengajian. Setelah membagikan buletin itu aku mengubah tempat dudukku.
Selama lebih dari setahun ini aku belum berani mempresentasikan buletin Al Iman seperti Kak Aisyah. Aku hanya berani mengantar Kak Aisyah dan teman-temannya itu ke MT-MT di daerah Kerindangan A, Kerindangan B, dan Pegustian. Menjadi ojek gratis bagi mereka. Serta membantu membagikan buletin itu pada ibu-ibu peserta pengajian.
Aku belum berani mengisi MT seperti teman-temanku itu karena aku terlalu gugup menghadapi ibu-ibu itu. Suaraku yang datar, tanpa improvisasi, pergaulanku dengan teman-teman yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia membuatku walaupun mengerti, tetapi kurang begitu fasih berbahasa Banjar. Padahal berkomunikasi dengan ibu-ibu itu jelas memerlukan penguasaan bahasa Banjar yang baik dan hangat. Sebagai gantinya, aku memilih diskusi di Kelompok Studi Islam atau KSI di sekolah-sekolah.
Sebenarnya, dulu waktu awal-awal mengantar dan egoku masih melekat kuat, aku merasa terpaksa menjalankan tugas mengantar Kak Aisyah dan teman-temannya. Itu karena dengan mengantar dan menemaninya menyampaikan presentasi isi buletin Al Iman, aku akan menyaksikan sikap tidak menyenangkan sebagian ibu-ibu pengajian itu. Beberapa dari ibu-ibu itu tidak mendengar apa yang disampaikan Kak Aisyah, mereka sibuk menghitung uang arisan. Beberapa ibu pengajian lainnya asyik ngerumpi sambil sesekali mengibaskan tangan yang didereti gelang emas, mengeluarkan bunyi gemerincing. MT sekaligus arisan seperti ini adalah ajang pamer perhiasan bagi ibu-ibu itu.

Pulang dari MT Al Husnah, aku mengambil jalan pintas. Aku akan melewati jalan Kerindangan A, masuk ke gang Ketuju, terus ke jalan Pekayuan Raya, baru kemudian ke Banjar Langkar mengantar Kak Aisyah yang rumahnya berada di komplek Bumi Bungas.
Aku sengaja mengambil rute ini karena menyenangi keramaian di sepanjang jalan ini. Hampir semua pengguna jalan adalah pengendara sepeda motor dan sepeda, hanya sesekali diselingi mobil.
Jalan ini terlalu sempit untuk dilewati dua mobil yang berpapasan. Itulah mungkin penyebab mengapa pengendara mobil segan lewat jalan ini. Mobil-mobil yang melewati jalan ini adalah jenis pick up pengangkut barang. Sebagian lagi jenis mobil lain yang pemiliknya beralamat di sekitar sini.
Sementara pengendara sepeda kebanyakan remaja putra dan putri yang berbusana muslim. Setahuku ada beberapa pesantren di sekitar sini. Dan sekolah-sekolah di sini umumnya sekolah keislaman. Mungkin mereka baru pulang mengaji atau malah sedang menuju mesjid untuk shalat Maghrib. Berlalu lalang di antara mereka membuatku mengalami suasana seperti pada syair lagu Kota Santri yang sewaktu SD sering kudengar. Di telingaku seperti terdengar syair lagu itu.
Suasana di kota santri.
Asyik tenangkan hati….
Pengendara sepeda lainnya adalah laki-laki umur 20 tahun ke atas. Dari pakaian dan peralatan yang mereka bawa, aku yakin mereka adalah buruh bangunan.
Pada saat mendekati adzan Maghrib seperti ini, di sepanjang jalan, pedagang kaki lima menjajakan bermacam barang dagangan. Di depan deretan rumah yang seolah berhimpitan, di sepanjang jalan yang kadang becek dan pecah-pecah, berjejer pakaian, kue, peralatan dapur dari plastik, sayur, VCD bajakan dan barang lainnya. Barang-barang itu bisa kita dapat di sepanjang jalan ini. Belum lagi pada hari-hari tertentu, beberapa pedagang kaki lima berkumpul menyelenggarakan pasar dadakan.
Di depan komplek Bumi Bungas, Kak Aisyah minta diturunkan.
“Sampai di sini haja gin. Terima kasih ding-lah, sudah maatar kaka. Jangan jara-lah…”
“Tidak apa-apa Kak. Tidak merepotkan. Lain kali kalau Pian perlu ada yang mengantar, hubungi saja ulun.”
Aku baru hendak memutar sepeda motor, saat kurasakan getar HP di saku gamisku. Kutepikan sepeda motor untuk membaca pesan yang masuk.
Aww. Ka, kawalah ketemunya besok ja? Ulun bujur-bujur parlu pendapat Pian.
SMS dari Aya lagi. Hmm, ada apa dengan anak itu. Aku sendiri tidak begitu mengetahui latar belakangnya secara detail. Aku sebatas hapal namanya. Karena sudah dua bulan ini aku mengisi kajian di sekolahnya. Baru dua minggu lalu aku berkesempatan bicara hanya berdua dengannya. Itu pun karena aku mengantarnya pulang ke rumah sehabis pengajian di rumah Kak Aisyah.
Hmm.., besok agendaku cukup padat. Mengajar di sekolah dari pagi sampai jam sebelas, ke warnet ngirim file tulisan ke Mbak Sofi, pulang untuk makan dan shalat, terus jam 13.30 - 14.30 memberi privat membaca pada Elies di RK Atas, jam 16 – 18 mengajar di bimbel.
Www. Ya, insyaAllah bisa. Tunggui kakak jam 14.50 di gerbang sekolah.

Suasana sekolah sudah sepi saat aku tiba di depan pintu gerbang sekolah. Kulirik jam di pergelangan tanganku, tepat pukul 14.45 Wita, lebih cepat lima menit dari waktu yang kujanjikan. Sebaiknya aku me-misscall dirinya.
“Ka Aulia!” Aku tidak jadi menekan tombol HP. Aya melambaikan tangan padaku. Dia berjalan ke arahku setengah berlari, seragam dan kerudung putihnya agak berkibar karena menabrak angin.
“Assalamualaikum…” Aku mengulurkan tangan, menjabat tangannya.
“Walaikumsalam. Kita bepanderannya di rumah ulun aja Ka-lah.” Aya menyambut tanganku. Wajahnya terlihat agak pucat. Tapi walau begitu, dia tetap terlihat manis. Seperti anak gadis usia 17 tahun lainnya, aura kecantikan memancar dari raut wajahnya. Dia memang terkategori langkar dibanding teman-temannya yang lain.
Di sebuah gang sempit di Kerindangan B, aku membelokkan sepeda motorku. Kontrakan yang ditempati Aya dan keluarganya ada di ujung gang itu, berjarak sepuluh meter dari bantaran sungai Kerindangan.
Rumah kontrakan itu berupa bedakan, dibagi menjadi kamar-kamar memanjang yang masing-masing dihuni keluarga yang berbeda. Kontrakan Aya berada di urutan yang keenam, paling pojok.
Setelah mengganti seragamnya dengan baju biasa, dan menyuguhkan segelas teh manis hangat, Aya duduk bersila di depanku.
“Maaf, Ka-lah, sudah mengalihi Pian ja.”
“Tidak apa-apa. Sebenarnya ada masalah apa?”
“Ulun lagi pusang Ka-ai. Bingung banar nah.”
Dari mimik wajahnya, tampak memang ada masalah berat yang menjadi sebabnya. Hmm.., apakah ini ada kaitannya dengan masalah pelajarannya di sekolah? Atau masalah keluarga?
“Ka, bakas pacar ulun semalam datang ke sini. Inya membawai ulun bebulikan pulang.”
“Terus?” Aku jadi khawatir. Bulan lalu aku sudah menjelaskan konsep pergaulan Islam pada Aya. Bagaimana seharusnya interaksi antara laki-laki dan wanita dalam Islam.
“Ulun padahakan nang kaya jar Pian padahakan di pengajian semalam tu, kalo bepacaran tu kadada dalam Islam. Ulun kisahi, wahini ulun sudah kada kaya indahulu lagi.”
Mendengar perkataan Aya aku merasa lega. Berarti internalisasi pemahaman keislaman yang kulakukan padanya, setidaknya, memiliki keberpengaruhan dalam dirinya.
“Tapi jarnya, inya kada handak, inya tatangis Ka-ai di hadapan ulun.” Aku melongo mendengar perkataan Aya.
“Sudah lawaskah bepacaran lawan inya?”
“Sudah lawas pang, lima tahunan labih. Indahulu, sebelum acil ulun, inya nang membiayai sekolah ulun, keperluan hidup ulun…” Dia lalu bercerita tentang perceraian ayah dan ibunya sewaktu ia masih kecil. Bahwa suami kedua ibunya beberapa tahun lalu terbunuh oleh temannya yang sedang mabuk. Bahwa ayah kandungnya memiliki anak-istri di mana-mana dan masuk penjara berkali-kali, terakhir karena membunuh. Ia bercerita tentang acilnya yang bekerja di salon kecantikan dan selalu menuntutnya berdandan, menanggalkan kerudung.
Dan terakhir ia bercerita tentang lelaki bekas pacarnya itu. Bahwa lelaki itulah yang selama beberapa tahun membiayai hidupnya.
“Ooh…” Aku tidak tahu apa yang harus kuutarakan padanya. Tak terbayangkan bagaimana jadinya diriku, bila besar dalam lingkungan keluarga seperti itu.
Namun, dari cerita dan mimik wajahnya, aku dapat membaca perasaannya pada lelaki itu. Entah apapun sebabnya, lelaki itu tak lagi menempati ruang hatinya. Tadinya aku mengira pembicaraan ini akan sulit, melupakan orang yang memiliki kesan mendalam di hati—apalagi yang tak pernah kau dapatkan pada orang lain—bukanlah hal mudah, bahkan mungkin tak bisa. Dan aku tak tahu bagaimana cara mengajarkan padanya.
“Kaya apa, Ka?”
“Emm, kalau memang kalian saling mencintai dan dia laki-laki yang baik dan bertanggung-jawab, kejelasan status kalian harus diperjelas. Kalau memang kamu siap, ya..menikahlah!” Aku memberikan jawaban yang pernah dinasehatkan Kak Aisyah pada salah seorang temanku.
“Ulun belum siap Ka-ai. Ulun handak kuliah, handak begawi dulu, mana..anu pulang Ka-ai..” Dia terdiam sesaat, menatap padaku. Ia tampak ragu-ragu.
“Ka, ulun sudah ternoda.” Ucapnya lirih.
“Maksudmu?” Aku merasa tidak yakin dengan pendengaranku.
“Ulun kada suci lagi…”
Untuk kedua kalinya aku melongo. Pengakuan Aya barusan benar-benar di luar perkiraanku. Aya yang masih begitu belia, yang tampak kalem, yang bersemangat mengikuti kajian yang kupaparkan dan berniat mengkaji lebih dalam lagi.
“Sejak kapan?”
“Sudah lawas Ka-ai. Dahulu tu ulun masih halus, lugu, masih kada bapikir panjang.”
“Dengan dia, bekas pacarmu itu?”
Dia mengangguk. Aku hanya dapat menarik napasku. Baru kali ini aku menghadapi masalah sebesar ini. Masalah yang tak pernah terlintas di benakku akan dialami salah satu adik binaanku.
“Kekawanan di sekolah sudah banyak yang tahu. Jar buhannya, kelihatan dari body ulun. Tapi nang kaya ini, ni, kada ulun ja sorangan. Kekawanan sakalas ulun gin banyak jua , sampai ada nang betianan pulang. Kawin inya. Ampih sakulah. Guru ulun sampai ada nang tatangis-tangis.”
“Haah…” kini aku dibuat kembali kaget, mendengar cerita Aya itu. “Kok bisa?”
“Kekawanan ulun tu banyak nang baisi pacar Ka-ai. Pacar buhannya tu sama kaya bakas pacar ulun jua, sudah begawian. Jadi kaya itu ai bepacarannya.” Aku hanya mengangguk berusaha mencerna penjelasannya.
“Buhannya tu Ka-ai, wahini mun ada masalah atau handak refreshing katuju naikan.”
“Maksudmu, naik apa?” Aku bingung apa yang dimaksud Aya dengan kata ‘naikan’.
“Naikan tu istilah di sini. Artinya ke diskotik. Acil ulun gin rancak ke situ mun lagi pusang bamasalah di rumah. Bebinian parak rumah ulun gin ada nang bejualan di parak-parak hotel di bawahnya.”
“Bejualan apa?”
“Bejualan nang kaya di Begawu tu nah, la**ng…” Dia berkata sambil berbisik.
“Apa?”
“Pelacur Ka ai.”
Aku mengangguk-angguk sambil tetap mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Kini di benakku mulai tergambar gejala perubahan sosial masyarakat di lingkungan sekitar sini.
Daerah Kerindangan dan Pegustian, serta beberapa kelurahan sekitar sini adalah daerah padat penduduk. Kehidupan Islami cukup kental terlihat pada siang hari. Dari mesjid, mushola, pesantren, sampai majelis taklim mewarnai kehidupan mereka. Bahkan jika kita melintasi daerah sekitar sini pada saat menjelang adzan, suara pengajian yang terdengar dari mesjid dan langgar, dapat terdengar sepanjang jalan tanpa terputus.
Namun, beberapa hotel dan tempat hiburan yang memiliki fasilitas diskotik ternyata memberikan warna yang berbeda pada malam hari. Belum lagi permainan biliar yang menjamur di jalan-jalan pada malam hari.
Mengapa selama ini tak terlintas di benakku? Hotel dan diskotik itu dibangun di dekat perkampungan mereka. Jumlah mereka yang banyak menjadi pasar bagi diskotik-diskotik itu. Dan dampak sosial bagi masyarakat di sekitar sini sungguh terasa. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tokh, diskotik-diskotik itu disahkan oleh pemerintah daerah.
Aku meninggalkan rumah Aya dengan perasaan haru. Pelan-pelan kulewati jalan pintas itu. Saat melihat rumah-rumah padat dan jalanan pecah-pecah itu, suasana hatiku tidak lagi seperti dulu. Sungguh, terasa asing dan gamang.
* * * * *

Banjarmasin, 17 Maret 2008
Dongeng Kesetiaan
Cerpen Ratih Ayuningrum


Ternyata memelihara kesetiaan adalah luka. Luka itu kini menganga. Sakit. Luka itu menggurat perjalanan malam yang selalu mengantar kita dengan dongeng indahnya. Sementara, kita tahu bahwa semuanya absurd. Kita selalu menimang bermil-mil jarak yang dipisahkan oleh lautan tanpa tepi. Namun, kita pun selalu membangun impian tentang kastil dan taman hijau yang luas. Setelah itu, kita pun terlelap dengan lagu nina bobo yang selalu kita bisikkan masing-masing di heningnya malam. Mata kita mengancing terkatup setelah seharian lelah mengumbar rayu dan puja yang abstrak.
Kesetiaan itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun, walau teramat agung kita letakkan. Ia terlalu manis meski selalu mencipta ribuan anak sungai di tengah sepi yang menjerat ruang kita masing-masing.

***

“Aku ingin melamarmu...”
Suara bas di seberang sana mengalir manis lewat ponsel mungil yang berada di genggamanku. Bulan separuh. Ini adalah musim pertama perjalanan tentang janji kesetiaan.
Aku tergelak sembari berusaha menyembunyikan bahagia yang perlahan mengalir menyusupi sanubari.
“Oya? Ini mimpi, ya? Sebentar..., sebentar..., aku cubit tanganku dulu. Auw! Sakit. Wah, ternyata aku tidak berkhayal.”
“Sedang apa kamu, Non?” Selalu saja dia memanggilku dengan sebutan Nona. Sebutan yang menerbangkan keakuanku sebagai seorang perempuan.
“Sedang tes kesadaran,” ucapku setengah manja. “Ternyata aku tidak bermimpi.”
Sekarang gantian dia yang tergelak mendengar ucapanku. Aku mengulum senyum mendengar tawa khas miliknya yang berderai di telingaku. Terasa sosoknya saat ini tengah tergelak di sampingku meski sekarang kami dipisahkan oleh ribuan jarak dan samudera yang luas.
“Kamu lucu, Non. Benar-benar lucu. Membuatku geregetan. Aku jadi ingin benar-benar melamarmu.”
“Kapan? Dengan apa?”
“Dengan sebuah senja.”
“Gombal!”
Dia pun kembali tergelak.
“Non, adat di sana seperti apa, sih? Apa pihak laki-laki perlu memberi sesuatu kepada pihak perempuan sebelum pernikahan dilangsungkan?”
“Kalau di sana adatnya seperti apa?”
“Si Nona kok balik bertanya, sih?”
“Hehehe, di sini sebelum pernikahan biasanya diadakan acara meantar jujuran.”
“Meantar... apa?”
“Jujuran. Pihak laki-laki biasanya memberikan sejumlah nominal uang kepada pihak perempuan sebelum pernikahan. Uang itu yang nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan.”
“Biasanya besar uang itu berapa, Non?”
“Tergantung, Mas. Tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya pihak laki-laki mengajukan angka sepuluh juta rupiah dan pihak perempuan menyetujuinya, maka dicapailah kesepakatan jumlah yang akan diberikan.”
“Hah! Sepuluh juta, Non?! Mahal sekali. Aduh, bilang sama orangtua kamu jangan mahal-mahal ‘menaruh harga’ kamu.”
“Ya, itu kan cuma contoh, Mas. Lagipula kalau menggunakan adat Banjar, jumlah sebesar itu masih sedikit karena murni hanya uang jujuran itu yang digunakan untuk biaya pernikahan. Pihak laki-laki tidak perlu menambah biaya untuk penyelenggaraan pernikahan karena uang jujuran itulah yang dipakai. Jadi, seandainya ada kekurangan biaya, pihak perempuan yang akan menambah kekurangan itu.”
Terdengar nada “oooo” panjang dari ponsel di seberang.
“Kalau begitu pakai adat aku saja. Kalau adat Jawa kan semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak laki-laki. Kamu tinggal terima beresnya saja.”
“Ya terserahlah, Mas. Memang kita nikahnya mau besok, ya? Kok jadi ngomongin masalah pernikahan.”
Dia terkekeh.
“Ya setidaknya kita kan punya niat untuk membicarakan hal itu. Aku kan perlu tahu dulu kebiasaan masyarakat sana seperti apa. Eh, ternyata begitu tho’ kalau mau menikahi gadis Banjar. Harus memberi uang dulu. Tapi, Non, kesannya seperti orangtua kamu mau ‘jual’ anak gadisnya sama aku dengan menaruh harga yang terlalu tinggi.”
“Hust, memangnya aku apaan?”
“Ya, sudah. Tuh penjaga malam sudah memukul loncengnya duabelas kali, di sini sih baru sebelas. Tidur sana. Nanti besok tidak bisa bangun buat kerja.”
Klik. Telepon pun dimatikan setelah janji kesetiaan dirangkai. Serta dongeng dibingkis dan dikemas dengan teknik penceritaan narator ulung. Setelah itu kembali sepi beradu dengan suara jangkrik yang membelah malam.

***

“Emailmu sudah kubaca tadi siang...”
Malam hening. Terdengar suara setengah berbisik mencoba memecah kebekuan malam. Mengalir lewat benda mungil bernama ponsel. Langit cerah. Jutaan bintang berpendar di sana, seperti pendar yang berbinar pada lukisan jiwa.
“Oya? Lalu?”
“Suka bunga lily? Gambar yang dikirim bagus, tapi kenapa harus lily?”
“Karena aku menyukai orang yang kupanggil Lily.”
Aku tersenyum. Sewaktu-waktu dia memang suka memanggilku dengan berbagai macam sebutan. Hari ini Nona, besok Gadis, besok Dinda, dan terkadang juga Lily. Sebuah nama yang diambil dari nama bunga bakung kecil yang indah, lily. Semuanya mencipta sebuah romansa yang terlalu sulit untuk dijabarkan.
“Mas, di sana sedang musim apa? Kalau di sini tiap hari hujan, jadi susah kalau keluar rumah. Tapi, aku suka memandangi hujan-hujan itu. Bagiku hujan yang luruh dari langit adalah sebuah nuansa yang sangat indah dan romantis.”
“Di sini sedang musim apel.”
“Yah... di sana kan memang gudangnya apel. Mas ini bagaimana sih?”
Wajahku berkerut mendengar jawaban asal yang meluncur dari mulutnya. Cemberut. Sebuah ekspresi yang tak mungkin tercatat dalam benaknya karena kini kami hanya bisa saling beradu suara. Mengalir melalui udara yang berembus. Selebihnya, kesunyian terlalu cepat menyergap. Selebihnya lagi imajinasi lebih berperan menciptakan adegan-adegan khayal yang penuh rekayasa.
“Aku senang ngusilin kamu. Kamu pasti akan lebih cerewet kalau digoda seperti itu. Aku senang mendengar ucapan yang keluar dari mulut kamu. Seperti boneka yang baterainya masih baru. Oya, kapan mau online lagi? Besok, ya. Sudah lama nggak chatting sama kamu.”
Aku mengangguk, namun kesadaran cepat menyergap. Tak ada gerak fisik yang bisa saling kami pahami. Percintaan ini bukanlah percintaan rupa. Segera kujawab iya.
“Bunyi apa itu, Ly?”
Sebuah bunyi panjang menyelinap pada udara yang menghantarkan suara kami. Itu bunyi tanda kapal baru saja berangkat.
“Bunyi kapal mau berangkat.”
“Kapal? Rumah kamu dekat pelabuhan? Kok ada bunyi kapal?”
Aku tersenyum. Sebuah isyarat yang hanya bisa ditangkap oleh ekor mataku pada bayangan yang terpantul di cermin tepat di depan tempat tidurku.
“Bukan. Rumah aku dekat laut. Jadi, seandainya ada kapal yang lewat dan mengeluarkan bunyi, maka angin membawa bunyi itu serta hingga ke tempatku. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi bunyi itu diterbangkan angin.”
“Wah, asyik ya, Ly,” ujarnya seperti anak kecil. Aku membayangkan binar sorot matanya saat berkata seperti itu. Sebuah momen yang sudah lama sekali ingin kunikmati.
“Iya. Rumahku dekat dengan hutan bakau. Kalau pagi hari di sini banyak burung yang berkicau. Suasananya selalu membuat hati rindu untuk kembali lagi.”
“Sepertinya tempat kamu itu indah sekali. Di mana sih tepatnya tempat tinggal kamu, Non?”
“Di Kotabaru. Salah satu kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan. Kotabaru sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan dan juga pegunungan. Indah sekali daerahnya. Kamu pasti betah kalau tinggal di sini.”
“Wah, kamu promosi, ya? Supaya aku cepat-cepat datang dan menjemput kamu.”
“Tidak juga. Tapi, kalau kamu berniat seperti itu, ya tentu aku akan senang sekali.”
“Ly, malam semakin merambat naik. Kamu pasti capek. Sekarang istirahat, ya.”
Aku menuruti kata-katanya. Malam ini kembali dongeng dilafalkan. Kesetiaan yang diagungkan. Absurd.

***

Semuanya berawal dari suatu kebetulan yang tak pernah tertulis pada skenario manapun.
Hari itu, aku berniat mengirimkan tulisan kepada seorang teman lewat email. Sembari menunggu proses loading, ku-klik menu enter pada chat room. Hanya iseng.
Tiba-tiba muncul di layar sebuah id yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sedikit basa-basi mengisi kekosongan waktu, kujawab saja setiap pertanyaan yang terlontar dari “orang asing” tadi.
“Asl pls.”
“Bjm f 21, u?”
“Mlg m 21.”
Bla...bla...bla..., perbincangan pun berlanjut dengan saling menukar nomor ponsel dan bertukar foto. Sebuah hal yang lazim kulakukan dengan teman alam mayaku yang lain. Dan setelah itu aku hanya menganggap semuanya angin lalu semata.

***


“Bulan kita sama, Nona. Memiliki harapan dengan terangnya. Menyiram pekatnya malam agar memiliki keindahan. Bulan di kotamu sesempurna wujud bulan di kotaku dan kini kupandang bulan itu di bayang wajahmu...”

Aku tersenyum. Sebuah email darinya hari ini. Selalu, setiap hari ada saja email darinya yang masuk inbox-ku.

“Samudera kita terlalu luas untuk ditapaki dengan jejak langkah kita. Namun, tak ada yang tak nyata pada jarak kita karena semuanya telah lebur menjadi satu. Aku, kamu, sebuah kesatuan yang agung dalam janji dan kepercayaan yang dalam...”

Ku-klik item send. Balasan email untuknya. “Kapan kita bisa bertemu?” Hal itulah yang selalu mengusik relungku. Sebuah pertanyaan yang selalu saja dijawab dengan berjuta alasan abstrak. “Aku capek dengan hubungan seperti ini. Aku ingin mewujudkan mimpi yang selalu saja menjadi bunga tidurku....”
Semusim telah berlalu. Janji kesetiaan itu tetap utuh tanpa cela. Walau absurd. Janji untuk saling percaya meski hanya dunia maya yang menjadi jembatan bagi kami. Namun, entah kekuatan bernama apa yang sanggup membuat aku bertahan dengan hubungan penuh keserbatidakjelasan seperti ini. Percintaan ini mungkin bukan percintaan rupa, namun jiwa yang lebih memanggil untuk mengikatnya pada janji kesetiaan.
“Entahlah...,” terdengar nafas dihela, berat. “Sabar ya, Non. Aku belum bisa menjemputmu sekarang. Maafkan aku atas ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Waktu mungkin bisa menghancurkan semuanya. Namun aku berharap perasaan kita tidak akan pernah hancur hanya karena waktu.”
Sekarang gantian aku yang menghela nafas berat. Selalu seperti ini ketika aku menagih janjinya untuk menjemputku. Janji itu selalu dimentahkan oleh alasan-alasan klise yang terkadang di luar nalarku dan tak dapat kucerna. Namun, entah kenapa aku selalu saja berhasil dibuat percaya. Mungkin saja aku telah mabuk oleh biusan kata-kata manis yang dia bisikkan melalui ponsel mungilku. Entahlah.

***

Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, bahkan hingga purnama keenam tidak pernah ada lagi email yang masuk ke inbox-ku. Semenjak pertanyaanku silam, nada dering hp-ku pun seolah enggan berbunyi. Tak ada telepon, tak ada sms. Semua nomor yang dia miliki selalu dijawab oleh suara dari operator. “Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan...”, atau “...telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif...” Upf! Aku kesal. Menghilang kemana dia? Kubanting ponsel-ku ke sudut kamar. Untunglah benda mungil itu cukup kuat menerima perlakuanku sehingga masih tetap utuh dengan jasadnya.
Tak ada hal yang bisa kulakukan. Menangis mungkin bukan pilihan tepat. Namun, hati wanita terlampau tipis hingga mudah mengeluarkan airmata. Ada rindu yang memuncak dan ingin kulabuhkan segera. Rindu ini tak mampu berdamai dengan jiwaku yang merintih perih. Apakah rindu selalu sembilu seperti ini?
Kuputuskan untuk mengarungi perjalanan ini. Perjalanan panjang menemukan jejak rindu dan kesetiaan yang terlampau diagungkan. Pagi masih basah oleh embun, bermodalkan keberanian kutinggalkan jejak kotaku untuk menemukan jejaknya di Kota Apel yang dingin. Perjalanan ini benar-benar kurasakan sangat lama. Delapan jam waktu kuhabiskan dari kotaku menuju Bandara Syamsuddin Noor di Landasan Ulin Banjarbaru.
Kemudian, pesawat yang membawaku terbang ke Surabaya kurasakan bergerak sangat lambat. Waktu empat puluh lima menit bagiku berputar terlalu lambat. Tiba di Surabaya, Kota Pahlawan tersebut, aku pun menumpang bis menuju tempat labuhan rinduku di Kota Apel. Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya rindu yang teramat dalam ingin bertemu dengan separuh jiwanya yang lain.
Perjalanan dua jam dari Surabaya kulalui dengan hati yang berdebar. Tak sabar rasanya aku ingin segera menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya bisa kami angankan menjadi rumah bagi kami kelak.
Sesampainya di Terminal Arjosari, Malang, aku dijemput oleh Sha, teman SMA-ku dulu yang sekarang kuliah di Kota Apel tersebut. Kuhirup bau kota ini dalam. Akh, sekarang aku telah berada di kota ini dan akan segera menelusuri perjalanan rinduku akan janji kesetiaan.
“Daerah mana, Na?”
“Mergosono, Kedung Kandang...,” jawabku singkat.
“Nanti aku temani kamu ke sana, tapi sekarang kita ke kostku dulu. Kamu harus istirahat dulu. Perjalanan yang kamu tempuh sangat jauh. Pasti kamu kelelahan.”
“Sha, aku sudah tidak sabar lagi. Kamu tahu kan bagaimana perasaanku?”
“Aku mengerti, Na. Kamu ikuti saranku saja. Kamu punya alamatnya, kan? Nanti aku akan bantu kamu mencarinya.”
“Ada. Alamatnya masih kusimpan ketika dia dulu memberikannya saat aku mengirimkan paket ulang tahun padanya.”

***

Petang di Kota Apel. Udara menggigit ruas kulit. Kurapatkan jaketku. Aku tidak terbiasa dengan udara sedingin ini. Di kotaku matahari kadang bersinar terlalu garang.
Kutelusuri lekuk kota ini dengan asa yang menggunung. Harapan untuk menautkan asa yang selama ini telah berani menyusup di jiwa.
Perjalanan ini memang melelahkan. Namun, aku tidak ingin membiarkan jiwaku lelah lebih dulu menggantungkan rindu itu di kotaku.
Hatiku semakin berdegup kencang ketika langkah kaki kami menemukan rumah yang dimaksud. Pasti aku tidak salah. Nomor rumah mungil di depanku ini persis dengan alamat yang diberikannya. Kuberanikan untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegup bagai irama drumband yang biasa aku lihat pas perayaan hari kemerdekaan.
Terdengar suara langkah mendekat. Seraut wajah muncul di balik daun pintu. Mulutku terbuka ingin menyapa dan memberinya kejutan. Tapi, aku tercekat. Keadaan berbalik seolah menampar kesadaranku ke sebuah ruang hitam. Sosok di depanku, seorang sosok laki-laki yang kukenal, tapi, ah, tidak! Dia tidak pantas kusebut laki-laki, tapi tidak pantas juga kusebut sebagai seorang perempuan.
“Non...,” desisnya dengan suara tertahan. Suara itu, suara yang selama ini kurindukan. Ternyata dia? Pantas saja dia selalu menghindar setiap kali aku meminta dia memenuhi janji kesetiaannya. Jadi, ini alasannya kenapa dia selalu mengelak dengan menciptakan bermacam alasan. Ternyata dia memiliki sisi feminin yang sama denganku. Apakah ini lelucon?
Aku berbalik. Ingin berlari meninggalkannya. Namun, tangannya terlalu kokoh menahanku. Tak ada guna aku meronta karena bagaimanapun juga tenaganya jauh lebih kuat dariku.
“Dengarkan penjelasanku dulu!”
Aku tak mampu mengeluarkan suara. Tenggorokanku rasanya tercekik. Lidahku kaku. Aku tidak percaya kenyataan yang tengah kuhadapi.
“Non, maafkan aku. Aku berbohong padamu. Tapi, inilah aku. Jiwaku sakit. Semuanya menolakku. Lingkungan menolakku. Aku merasa terbuang dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salah, aku sudah berusaha untuk berubah. Aku tidak betah dengan jiwaku yang sakit. Terperangkap dalam tubuh yang kau pun tidak ingin hal ini terjadi padamu.”
“Kenapa tidak kau jelaskan dari awal?”
“Memilikimu adalah suatu keindahan. Mengenalmu aku merasakan sebuah penerimaan yang tulus. Aku terlalu takut kehilanganmu walau aku tahu suatu hari hal itu pasti terjadi. Maafkan aku, Non. Mungkin aku telah menipumu. Kamu berhak pergi dariku. Belajar mencintaimu adalah hal paling indah yang pernah terjadi di hidupku meski aku tahu itu sulit....”
Senja itu airmata luruh di tengah sobekan-sobekan janji kesetiaan yang tak berwujud lagi.

***

Pesawat terakhir yang membawaku baru saja berangkat. Kutinggalkan luka dan janji kesetiaan. Di Kota Apel yang dingin kutinggalkan jejakku. Kubawa senyumku serta. Sebait doa kukutip agar jiwanya yang sakit dapat menemukan sebuah rumah teduh yang di sana semuanya menerimanya. Bila saat itu tiba, tentu dia telah menemukan jiwa dan dirinya yang sesungguhnya.
Kupejamkan mata sembari menahan airmata yang berebut ingin luruh. Janji kesetiaan itu absurd. Kesetiaan itu adalah luka. Luka itu menganga. Sakit.
Semuanya kuleburkan bersama deru roda pesawat yang perlahan naik membumbung ke angkasa. Abunya kutabur di batas jarak samudera yang kembali memisahkan ruang kami, kini perpisahan yang nyata. Dongeng tentang janji kesetiaan berakhir sudah.


Banjarmasin, Juni 2006
Episode Durian
Cerpen Nailiya Nikmah JFK


Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang dibelai hujan sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya, durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil bersenandung lirih,

aku yang lemah tanpamu
aku yang rentan karena
cinta yang tlah hilang darimu
yang mampu menyanjungku... )


Durian... aku bergumam dalam hati. Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis. Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua makanan yang ditata prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. Aku yakin di makanan itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.
Rupanya Iwar pun sudah terkena panah asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan menjabat tangannya. “Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar,” ucapnya bersahabat.
Nama yang singkat tetapi indah di telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah. Tidak seperti adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah, kok jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta, ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.
Aku pun dengan lantang menyebut namaku. “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi teman-teman memanggilku Aman...,” candaku. Kulihat ia tersenyum dan subhanallah ada lekuk kecil di kedua pipinya.
Kata Indah itu namanya lesung pipi. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.

darimu kutemukan hidupku... )

Sejak itu semua menjadi aneh. Di kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan baru kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut menanggapi permintaanku.
“Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru dua semester kuliah sudah minta kawin,” komentar Abah.
“Iya, Man. Lagian kenapa juga harus Iwar bungas ) itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran ) yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas harga pasaran, Man,” sahut Mama.
“Harga pasaran apa sih, Ma? Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
“Eh, si Kakak, dikasih tahu nggak mau mendengarkan. Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh kada bapira, kada masam, kada pangar ), pokoknya sip,” sahut Indah. “Dia anak orang kaya, cantik, sholehah, pintar lagi,” sambungnya.
“Oya? Tambah semangat nih,” tukasku.
Semua kepala menggeleng.
“Man, jangan menyupanakan ) keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita?” usik Mama.
“Ma, apa salahnya kita usaha dulu. Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya ngaak memalukan deh...,” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
“Ada satu yang belum kamu miliki, Man...,” lirih Mama.
“O,ya? Apa itu?” sahutku heran karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar melamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan almarhum Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan sholehah. Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh...,” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok, Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaannya sebagus Iwar,” harapku.
“Man... Abah dan Mama tidak melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu nanti dulu... kita belum siap,” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan jawaban Abah. Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar. Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA baru ia tinggal bersama orangtuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN. Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengumandangkan ayat-ayat suci.
Aku tak peduli dengan semua itu. Aku hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main. Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku, menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang turut menikmatinya.
Hampir sebulan aku seperti orang sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku mendapat titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku. Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!
Bila yakin dan percaya pada ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi panjang... demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku. Tapi, eit... tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu hal. Dari mana Iwar tahu aku sedang bermimpi?
Indah seakan bisa membaca isi hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama. Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya kuat-kuat.
Tapi tidak, aku tidak jadi melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.
Maka Abah, Mama, aku dan Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini-itu. Yang ada hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi. Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga. Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.

Bagiku...Kaulah cinta sejati )

Sampai tragedi itu terjadi... Baru empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan spanduk anak Hukum. Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.
Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali.
Lagipula aku sudah kangen ingin makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum, War... Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu...,” teriakku tak sabar menanti sambutan hangatnya.
“Alaikumsalam... Kak, bawa apa?” Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. “Kak Aman bawa... du... rian...?” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke dokter?” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab, “Ah, tidak, Iwar tidak sakit. Kecapekan saja barangkali.”
“Ya sudah, kamu istirahat. Tapi sekarang kita makan durian dulu, ya?” sahutku lega.
“Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada yang mau dikerjakan,” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya dibukakan, ya! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari kamar mandi aku tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku mencarinya.
Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran ) kami. “Kamu ngapain ke sini?” selidikku.
“Maaf, Kak. Tadi Iwar agak pusing. Mau nyari angin segar.”
Jawaban Iwar bagai tamparan keras di pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar menjawab, “Maaf, Kak. Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum dibuka juga?” kucoba menyimpan kekesalan.
“Maaf, Kak, Iwar tidak bisa membukakan duriannya....” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, ke dapur. Kamu harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!”
“Tapi... Iwar tidak suka durian...” Kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“Kalau kamu tidak terlalu suka, tak apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya,” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar tidak suka,” ucapnya lagi.
“Ya, sudah, kamu tidak usah ikut makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur,” aku nyaris kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa... Maaf...,” matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih?! Sudah berani membantah? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang dibelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu tiga biji durian ini tidak ada harganya, kan! Tapi tolong hargai aku. Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa membelikanmu durian, bukan permata. Maaf,” teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud seperti itu, Kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah. “Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian... Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium baunya...,” ucapnya sesegukan.
“O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan.
Iwar menunduk. Kulihat ia berulang kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus. Peduli adul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama Iwar.
Bidadariku ternyata memiliki cela. Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka. Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang melarangku makan durian. Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar. Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.
Hidup, durian!
Kulihat para durian bertepuk tangan menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok? Apa aku harus berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru men-delete pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan. Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku umpama suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.
Ia mengambil pisau tajam di rak piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke mulut. Aku ternganga.
Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar mandi. Iwar muntah-muntah!
Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit sampai pintu kamar mandi terbuka.
Iwar kuyu. Ia pasti sudah mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku mengekor. Untuk kesekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau ke mana, War?” tanyaku lebih mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan pintu ia mengambil tangan kananku dan menciumnya. “Selamat makan durian, Kak. Maaf, Iwar pergi dulu.”
Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar masih bidadari yang manis. Supra Fit merah melaju bersama pemiliknya, meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah Isya aku mendapat telepon dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar. “Kak, Iwar nginap di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita aja. Makan malam sudah ada di meja. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.”
Itulah Iwar. Ia tak seperti perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar menyembunyikan diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik napas lega.
Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” tanya pedagang durian.
“Ya,” aku malas menawar. Aku memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” Aku tak yakin ia sudah pernah makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti senang jadi anak Bapak,” ucapnya.
“Ah, kamu bisa aja. Saya belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“Kalau begitu, pasti istri Bapak bahagia punya suami sebaik Bapak,” ralatnya. Istri... bahagia...? Aku tersedak. Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?” tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu habiskan saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.
***
Sepulang kuliah hari itu aku tak kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di bawahnya. Tergesa kubaca,

Kak, maafkan semua kesalahan Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama. Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik angkot, kunci Supra Fit Iwar titip di tetangga depan.

Ah, Iwar, tak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.
Mengingat senyum Iwar membuat aku mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi. Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.
Besok Mama mengadakan acara haulan. Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak bernyawa di Rumah Sakit Islam.
Maafkan aku, durian... Sejak kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak sanggup memakai Supra Fit atau sepeda motor apa pun lagi karena semua itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan Supra Fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku.
Aku semakin mempercepat laju sepeda. Kepalaku pusing, aku tidak tahan lagi, aku ingin muntah...

Bila yang tertulis untukku adalah
yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang
terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
meninggalkan jejak hidupmu
Yang tlah terukir abadi sebagai
kenangan yang terindah... )
Ujung Musim Penghujan Kali Ini Kiranya, Aku Pulang
Cerpen Dewi Alfianti


Alun, surah ar-Rahman terdengar dari mushola seberang titian. Fa bi ayyi alaa i robbikuma tukadziban. Aku berangsur-angsur turun dari tempat tidur, saatnya bangun. Kubaca ulang surat itu, penerangan yang tak seberapa membuatku harus mendekatkan surat itu ke wajah. Sebenarnya siang tadi sudah kubaca, sesaat setelah tukang pos menyerahkannya. Namun, subuhlah, kupikir yang mampu mengendapkan makna lebih baik. Itu sebabnya kubaca ulang surat itu sekarang.

Jogjakarta, 15 Januari 2008
Dik, bagaimana kabarnya?
Bulan seperti ini masih musim penghujan, bukan? Sudah begitu lama, apakah kampung kita masih seperti dulu? Apakah sungai tampak lebih lebar dari biasa? Apakah arus terasa lebih kuat? Apakah ada satu dua perahu yang hanyut karena arus pasang deras? Apakah titian depan rumah nyaris tenggelam? Kuingat ibumu selalu panik mengamankan ayam-ayam peliharaan kalian jika air pasang. Bagaimana asma Beliau? Di suratmu terakhir bulan lalu kau bilang asma ibumu tambah parah saja. Tapi bukankah di kampung kita udara selalu murni tanpa kotoran kecuali asap tungku-tungku kayu bakar atau asap dari tungku dalam perahu-perahu untuk mengusir nyamuk di subuh hari. Kenapa asmanya bisa tambah parah?
Dik, bagaimana niatmu untuk kuliah? Kuliahkan tak harus mengikut jejakku keluar pulau. Di Banjarmasin ada kampus yang bagus untuk dimasuki. Kalau tidak ingin kehilangan ilmu pesantrenmu, masuk saja ke kampus pendidikan agama.
Aku rindu padamu, Dik… Wajahmu saat terakhir ku pergi dua tahun lalu masih ada di kepalaku. Sayang sekali itu wajah sedih, kalau saja ingatan terakhirku tentang wajahmu adalah wajah seseorang yang tersenyum, hatiku akan merasa nyaman. Di perahu motor Paman Asan, tak berani kutarik kau naik ke batang tambatan perahu. Aku tak sanggup melihatmu tersedu di dalam jukung itu, menyiksa, apalagi harus benar-benar mengucapkan salam perpisahan. Aku selalu membicarakan ini ya Dik, terutama saat terakhir aku melihat wajahmu. Maafkan aku…

Aku masih terenyuh membaca surat itu, tapi sebelum sempat dikuasai emosi, kumasukkan surat itu ke laci meja yang di dalamnya terdapat tumpukan surat dari orang yang sama yang mengirimkan surat itu. Surah ar-Rahman masih tekun dibaca dari mushola, ku beranjak ke dapur, sambil berwudhu kuhela nafas panjang.
Pagi itu kudapati wanita itu sedang membersihkan ikan di dapur rumahnya. Rumah itu lengang. “Kak, suratnya datang lagi,” Kataku dengan nada berhati-hati. Wanita itu berhenti sebentar dari pekerjaannya, namun sebentar kemudian ia sudah menyibukkan diri kembali. “Sudah kau buang surat itu?” Wanita itu bicara pelan saja, namun aku merasa pertanyaan itu begitu menusuk. Kuberanjak dari duduk lalu melihat keluar pintu dapur, nun jauh di sana, sekumpulan pohon kelapa terkesiap di tingkap angin. “Kakak tahu, aku tak pernah membuang surat-surat itu. Surat itu akan kubalas, seperti biasa. Dengan atau tanpa mu.”
Wanita itu tampak tak acuh, wajahnya tak terlihat karena tunduk memperhatikan ikan yang dibersihkannya. “Dia menanyakan kabar ibu. Dia…Dia juga meminta kakak kuliah.” Kupandangi wanita yang menunduk itu, kakakku. Dia berhenti membersihkan ikan, lantas berdiri. “Cukup! Kakak mau beres-beres rumah. Kalau kau tak ada kerjaan, sebaiknya pulang saja, kakak sibuk.” Aku tak bicara sepatah katapun, langkah kaki ku tampak cukup tergesa meninggalkan rumah kakak.
Fiqah meneteskan airmata, airmata yang baru bisa keluar jika ia sendirian saja. Saat tak ada suami suami, saat anak-anaknya yang umur setahun tidur. Saat tak ada orang di rumahnya, Fiqah menangis tanpa suara.
Lelaki yang mengirim surat itu, kak Arfani, dialah alasan kenapa airmata Fiqah sampai jatuh. Dialah cinta yang Fiqah pendam dalam hati. Lelaki yang mempunyai cita-cita begitu tinggi. Lelaki yang akarnya pada kampung ini sudah tercerabut.
Kak Arfani, dia pemuda kampung Bararawa, kampung di sebelah kampungnya, Paminggir. Kampung-kampung yang terletak di pesisir sungai Barito, yang masuk di wilayah danau Panggang seperti Sapala, Bararawa, Paminggir, atau Paminggir Subarang dihubungkan dengan titian panjang yang membelah jalan desa-desa.
Fiqah tak mengerti kenapa kak Arfani bisa begitu berbeda dari teman-temannya, dari kebanyakan orang-orang di kampungnya. Padahal, Kak Arfani sama-sama dibesarkan di riuh jukung yang diturunkan usai subuh menuju hutan mencari ikan. Sama-sama terbiasa mandi bersama hadangan di sungai yang luas, sambil berteriak-teriak ramai. Tapi kenapa pikiran kak Arfani begitu luas menerabas ke depan?
Fiqah menyukai Kak Arfani sejak lama. Anak-anak perempuan, teman-temannya satu Tsanawiyah sering membicarakan kakak tingkat yang satu itu. Pintar, sholeh, anak kepala desa, dan yang paling penting untuk Fiqah, Kak Arfani begitu santun dan halus tutur katanya, seperti telah diajari tata karma dengan begitu baik. Fiqah mengetahui Kak Arfani menaruh hati padanya saat lelaki itu lulus Tsanawiyah. Saat itu kak Arfani mengiriminya surat, mengatakan kalau dia sebenarnya menyukai Fiqah, berniat menikahinya tapi ia juga ingin menggapai cita-citanya melanjutkan sekolah ke Banjarmasin.
Fiqah ingat saat itu wajahnya bersemu merah, senang sekaligus sedih. Orang tua Fiqah tak mengizinkannya ikut-ikutan Kak Arfani sekolah di Banjarmasin. Dia cuma diizinkan melanjutkan SMA di Amuntai setelah setahun, itupun setelah sedemikian gigihnya ia meyakinkan orang tua, terlebih ibunya bahwa melanjutkan sekolah adalah hal yang penting, bahkan untuk perempuan sekalipun.
Setelah Kak arfani lulus SMA, awalnya, rencana Fiqah, yang juga ternyata menjadi rencana orang tuanya, mereka berdua akan menikah. Tapi siapa sangka, Kak Arfani menolak itu dengan halus dan meminta Fiqah bersabar menunggu karena ingin melanjutkan kuliah dan tak tanggung-tanggung, ke tanah seberang, Jogjakarta. Empat tahun lalu, Fiqah masih ingat bagaimana lututnya gemetar melepas kepergian Kak Arfani. Remuk rasanya. Ia menghabiskan tiap malam meratapi kepergian Kak Arfani. Kak Arfani rutin mengirim surat, namun tetap saja tak cukup bisa membantu Fiqah bertahan.
Pertahanan Fiqah hancur saat ibunya memintanya menikah dengan Alfian, anak juragan kapal ikan di kampungnya. Semua alasan yang dikemukakan Fiqah dengan mudah ditangkis orang tuanya. Tak ada harapan lagi menunggu pemuda yang jauh tanpa kepastian yang jelas, sehebat apapun pemuda itu.

Muka bapakku tampak masam, karena arus yang terlalu kuat, keramba kami salah satu paring-nya rusak. Setelah selesai memperbaiki bapak bergumam, “Akan lebih parah jika Barito menguap.” Kupandangi bapak dari atas perahu bermotor atap ini. Tubuhnya separuhnya berada di dalam sungai, memperbaiki tempat memelihara ikan di tepi sungai itu. Untuk usianya, Bapak masih penuh tenaga. Sebenarnya, kuingin ikut Bapak bercebur, tapi ia tak mengisyaratkanku untuk membantunya. Bapak paling tidak suka pekerjaannya dicampuri, jadi kudiam saja. Pikiranku kembali pada surat kak Arfani yang dikirimkannya pada kakakku, Rafiqah.
Kak Arfani tak pernah tahu kalau Kak Fiqah sudah menikah, persis tiga bulan setelah kepergiannya kembali ke Jogja saat pulang lebaran dua tahun lalu. Tak ada yang memberi tahu Kak Arfani. Kak Fiqah telah meminta pada orang tua Kak Arfani untuk merahasiakan pernikahannya.
Namun, surat itu tetap saja datang secara berkala, tiap tengah bulan. Karena dialamatkan ke rumah kami dan semenjak menikah Kak Fiqah tinggal di rumah suaminya, akulah yang senantiasa menerima surat-surat Kak Arfani dua tahun ini. Selalu saja tersirat rasa rindu di surat itu, rindu pada Kak Fiqah dan rindu pada suasana daerah ini.

Bapak sudah naik ke perahu, perlahan kuhidupkan mesin. Perahu kami bergerak membelah sungai melewati tanduk dan punggung hadangan yang tersembul keluar dari dalam sungai, melewati kawanan enceng gondok yang segar seakan diberi ruang yang luas untuk hidup. Anak-anak berteriak di seberang sungai, bermain pancing di air. Suasana yang mudah dirindukan oleh siapa saja, apalagi orang seperti Kak Arfani.
Sejak kecil aku sudah mengagumi Kak Arfani. Aku ingin jadi lelaki seperti dia. Melintas batas cakrawala kampung kami, jauh melebihi Amuntai, Banjarmasin sekalipun. Dalam surat-suratnya dia bercerita tentang banyak hal, tentang dunia yang demikian cepat berubah tanpa kehilangan rasa rindunya pada kampung.
Kak Fiqah tak pernah mau membaca surat Kak Arfani setelah ia menikah. Ia perempuan setia, dan sepertinya sekarang ia belajar setia pada suaminya setelah bertahun-tahun setia pada Kak Arfani. Aku yang selalu membalas surat Kak Arfani karena dari dulu akulah juru tulis surat Kak Fiqah. Aku punya kemampuan membuat bagus kalimat, kata Kak Fiqah. Jika sekarang aku yang membalas surat Kak Arfani, takkan ada bedanya.
SMS itu masuk ke HP bapak pagi ini. Bapak menyerahkan HP padaku tanpa sepatah katapun. Dari Kak Arfani. Dia tak pernah meng-SMS sebelumnya. Aku pernah memberikannya nomor HP bapak. Tapi selama ini ia cuma menghubungi lewat surat. Tiba-tiba aku merasa kacau, tak karuan. Perlahan kubaca lagi pesan singkat di HP itu, aku berpegangan pada pinggiran kursi mencoba berdiri tegap. Di luar tercium bau ikan asin yang dijemur di pelataran. Dik. Mlm ini aku pakai pesawat ke Bjm. Bsok InsyaAllah sdh sampai rumah. Lusa aku ke rumhmu. Arfani.

* * *
Saat memasuki ruang tunggu bandara, jantungku berdegup kencang. Aku akan pulang, setelah dua tahun mengumpulkan keberanian, aku pulang. Bukan, bukan karena kali ini aku lebih berani, hanya saja aku memutuskan untuk meneruskan kebohonganku.
Pesan singkat itu masuk di ponselku sesaat sebelum aku memasuki pesawat. Dari istriku, Maya, dia menyuruhku cepat pulang. Ponsel kumatikan karena mesin pesawat sudah menderu. Kupandangi keluar jendela pesawat. Dengan cepat melintas wajah Rafiqah, gadis manis dari desa Paminggir, calon istriku. Terbayang pula riuh jukung, hadangan dan teriakan anak-anak di tepi sungai. Semua yang dulu milikku.
Aku menghela nafas. Aku telah mendapatkan kesempatan bekerja di Jakarta selepas wisuda, kesuksesan karena menikahi anak penjabat yang kebetulan tergila-gila padaku sejak lama. Kemapanan, aku telah mendapatkan itu semua. Tapi aku kehilangan lebih banyak lagi, kampungku dan Rafiqahku. Surat yang selalu kukirimkan padanya adalah pengkhianatan pada istriku, tapi menikahi Maya adalah kejahatan terbesar dalam hidup yang kulakukan pada Fiqah. Perlahan entah darimana, mengalir masuk sebuah lagu yang waktu anak-anak sering kudengar. Lagu yang yang kusuka entah untuk alasan apa. Tiba-tiba saja syair lagu itu terasa mengejekku, menyudutkanku.

Marinyut hati mun kaganangan/Kaganangan siang wan malam/Ma’ambung janji ka palaminan/Si jantung hati batulak madam/Kada kusangka kada kuduga/Tulak madam habar kadada/Kutakunakan kasini kasana/Amun buriniknya kadada jua

Rafiqah, aku pulang…sebentar saja, tapi aku benar-benar pulang. Lampu pesawat dimatikan menjelang lepas landas, tak ada yang melihat airmataku yang menetes perlahan.


Ditulis bersama lantunan lagu Michael Buble, ”Home”.

Monologila


Cerpen Hajriansyah


Ya, bisa saja kau datang dengan tangan mengepal, tapi aku sudah lupa dengan masa lalu. Kenangan di kepalaku seperti jarum di tumpukan jerami. Terlalu absurd! Kenangan hanyalah bayangan dari mana aku akan berjalan ke depan. Sebuah lubang telah kulalui tadi, dan aku telah melupakannya. Jadi sekali lagi, kutegaskan tak perlu kau kepalkan tangan dengan membawa cerita masa lalu. Kalau kau ingin berbincang, mari bicara tentang hari ini saja. Apa yang kau bawa? Sebuah pikiran? Kulihat seperti ada beban di kepalamu, tapi bukan yang tentang masa lalu itu. Ya, tampaknya memang ada beban, mari bicarakan kalau kau mau. Ya, aku bisa mendengarkan. Apa? Ya?
Ya..ya, ya aku bisa merasakan keraguanmu. Aku pernah merasakan hal yang sama. Seringkali kita memang tak bisa menghindar dari realitas yang menusuk. Kita selalu terbiasa membayangkan kehidupan yang mudah. Kehidupan yang indah yang dapat kita kejar. Kita memang kadang bisa juga membayangkan hal terburuk dalam rencana-rencana hidup kita, tapi kita tak pernah benar-benar siap menghadapi hal-hal yang buruk. Tapi sejauh ini, apa yang sudah kau lakukan untuk mengantisipasi rasa sakitmu. Berobat? Dengan cara bagaimana? Kau pergi ke orang pintar? Apakah kau benar-benar yakin bahwa orang yang kau datangi itu lebih pintar darimu? Lebih tahu masalah hidupmu daripada dirimu sendiri? Kau tak tahu! Lalu mengapa kau datang kepadanya? Karena temanmu! Karena kau tak tahan dengan nasihat temanmu. Dan kau ingin meyakinkan bahwa ia bisa saja salah; makanya kau mencobanya. Tapi bagaimana kemudian? Kau tak merasakan apa-apa. Kau tak merasa menemukan kesembuhan atas rasa sakitmu.
Oke..! bolehkah aku bercerita sedikit untukmu, ya..hitung-hitung sebagai bahan perbandinganlah. Boleh? Oke, begini ceritanya.

* * *
Di suatu waktu ‘Yang Tercerahkan’ mengalami keputusasaan. Ia yang selalu mendambakan kebahagiaan orang lain, merasa sedih bahwa teman terdekatnya melakukan kesia-siaan yang amat sangat; segala hal tentang kebaikan yang pernah mereka diskusikan tak bermanfaat ketika maut datang kepada temannya dengan segala penderitaan yang tak logis. Temannya terbunuh dengan mengenaskan dalam seburuk-buruk akhir kehidupan. Ia Yang Tercerahkan begitu sedih. Hatinya bagai tertusuk-tusuk, dan Ia begitu bingung, dan hampir linglung. Seperti orang yang kehilangan orientasi pada umumnya, ia berjalan dengan tatapan yang kosong. Segala yang cerah yang pernah menghiasi wajahnya seperti tak pernah ada. Ia kemudian menjadi lebih sensitif dari kebiasaannya, menjadi lebih emosional dalam bertindak. Orang yang sesabar itu menjadi sering tak yakin dengan apa yang dilakukannya, dan masa lalu sering menghantuinya. Kesalahan seseorang begitu dipikirkannya. Ia sering tak dapat tidur, dan geram menguasai hatinya untuk hal-hal yang penuh kesia-siaan.
Dalam satu kesempatan Ia menyerang lawan bicaranya dengan begitu sinis. Ia menusuknya dengan kata-kata, dan hampir saja mereka bertengkar secara fisik, ketika terlintas di benaknya, betapa lemahnya dirinya. Ia pergi begitu saja ketika sebuah pukulan hampir bersarang di kepalanya. Kawan sekaligus musuhnya itu terpana. Yang Tercerahkan tersadar, bahwa segala permasalahan ada jalan keluar, dan tak seharusnya membuat masalah baru dengan masalah lama. Sambil berjalan Yang Tercerahkan merenungkan kembali masalahnya. Di jalan ia melihat betapa pohon yang tersengat panas begitu tenangnya. Ia berhenti sebentar di bawahnya. Sembari berteduh, duduk, dielusnya kulit pohon itu; begitu kasar, bahkan banyak luka di sana-sini. Mungkin seseorang yang pernah duduk di bawah sini ingin mengukir namanya sebagai kenangan, pikirnya. Yang Tercerahkan menerawang ke atas. Pohon itu begitu kokoh dan rindang. Rasa sakit dan kekasaran tubuhnya tak membuat pohon itu menjadi kecil. Helai-helai daunnya yang ditiup angin membuat lingkungan di sekitarnya menjadi sejuk, yang berada di bawahnya merasa terlindungi dan aman. Pohon ini begitu tenang, ia menjadi sedemikian indah bagi Yang Tercerahkan. Ia Yang Tercerahkan membayangkan, suatu saat nanti orang-orang menjadi senang berada dekat pohon yang rindang itu, dan mereka kemudian membangun tempat tinggal, kemudian beranak-pinak. Di suatu waktu, keturunan mereka sudah sedemikian banyak dan pohon itu menjadi aikon kampung mereka, sampai di suatu waktu pohon yang indah itu menjadi penghambat laju pembangunan, dan orang-orang yang obsessif kemudian memerintahkan menebang pohon yang pernah menjadi mimpi indah nenek moyang mereka itu.
Yang Tercerahkan merenungkan hal ini secara mendalam, dan Ia mendapati dirinya yang kecil begitu naif dengan permasalahannya yang sepele. Ia Yang Tercerahkan sadar bahwa dirinya bukanlah apa-apa, dan takdir hidup bukanlah kewenangannya. Sejak saat itu senyumnya mengembang kembali, dan ia menjadi lebih bijaksana…

* * *

Ya, seperti itulah! Mungkin cerita ini terlalu berlebihan untukmu. Tapi sebagai bahan renungan, kupikir bagus untukmu.
Bagaimana? Kau tak memahami apa-apa? Wah, itu bukan kewenanganku untuk membuatmu paham. Kemampuanku hanya sekedar bercerita, mungkin kau bisa merenungkannya di rumah. Kau tak ingin merenungkannya? Ceritaku membuatmu tambah pusing? Tapi itu bagus, baik untuk hidupmu. Bingung dan pusing memberimu ruang untuk introspeksi; masuk ke dalam diri, dan kuharap kemudian kau keluar darinya dengan lebih bijaksana lagi.
Apa? Tak penting bagimu? Kau ingin yang instan, yang langsung bereaksi dan dengan cepat menyelesaikan masalahmu. Aku bukan tabib; andaipun jadi tabib aku takkan menerima pasien yang menginginkan kesembuhan instan. Segala hal memerlukan proses, apalagi kesembuhan. Ya, semuanya memerlukan proses, tidak mengertikah kau? Kau harus memahami hal sederhana ini seperti halnya kau menginginkan hidup yang mudah. Hidup yang tak mengenal rasa sakit, bukankah itu yang kau inginkan.
Heii.. kau jangan menjadi sewot begitu. Sedikit berbahagialah karena hari ini kau sudah mendengar hal-hal yang baik dariku.
Kau ingin ke mana sekarang? Apa? Kau hanya ingin duduk sebentar di sini dan berbincang. Oke, tak masalah!
Beberapa hari ini rumahmu menjadi lebih sumpek. Mertuamu menyuruhmu lagi bekerja di tempat yang kau tak sukai itu, dengan alasan ‘kasihan anak-anak’. Tapi kau benar-benar tak ingin lagi menyia-nyiakan hidupmu untuk sesuatu yang tak kau sukai, dan kau berselisih paham dengan mertuamu, dan ia menyindir-nyindir keberadaanmu beserta istri dan anak-anakmu di rumahnya yang sudah terlalu lama. Belum lagi datang kabar tentang kecelakaan yang menimpa adikmu, yang selama ini dekat denganmu, dengan membawa motor pinjaman dari temannya. Teman adikmu yang baru saja mendapatkan motor itu dari orang tuanya sebagai hadiah prestasinya di sekolah mendatangi ibumu yang tinggal sendiri beserta adik-adikmu beserta orang tuanya, dan meminta pertanggungjawaban atas kerusakan motornya. Dan bla..bla..bla.., dan kau pusing, dan kau bingung, dan kau hampir gila, dan kau benar-benar bertingkah hampir seperti orang gila. Dan kau datang kepadaku dengan tangan mengepal, karena tiba-tiba saja kau teringat padaku, dan akulah orang yang mula-mula menjadi awal dari semua masalahmu meskipun kau tak begitu yakin dengan hal itu. Begitu pikirmu! Ya?

Selamat datang wahai yang dijabahi, yang diridlai.
Bila engkau menghilang maka keputusan yang datang akan menyempitkan dada.1

Ada banyak lagi persoalan hidup yang lebih besar dari persoalan kegilaan seperti yang kau alami. Itu hanyalah kegilaan dalam rumah tangga, padahal ada kegilaan dalam bernegara, kegilaan dalam masyarakat, kegilaan dalam suatu sistem sosial yang luas. Apa menurutmu invasi ekonomi yang mengakibatkan hancurnya sebuah negara beserta sistem kenegaraannya yang telah mapan, seperti kasus Irak dan lain-lain, bukan sebuah kegilaan? Apa terjajahnya kebudayaan dengan hegemoni budaya yang lebih besar dan lebih agressif bukan sebuah kegilaan? Apakah pernah kau lihat anak-anak kecil seumur anakmu yang terkecil, yang berusia empat tahun, yang bermain di trotoar median jalan sambil sekali-kali membunyikan kecrekannya dan menadahkan tangan ke pengendara-pengendara yang terhalang lampu merah; dan apakah mereka bukan sebuah kegilaan?
Bukan..bukan, Teman! Bukan itu maksudku. Aku tidak sedang membandingkan hidupmu yang sangat sederhana dengan kompleksitas kehidupan yang lebih besar. Aku hanya sedang memasang cermin di muka kita berdua, saat ini, dan berharap kita dapat melihat wajah kita yang sejati, yang maha luas. Potensi kita adalah yang tak terbendung, pun potensi masalah yang akan kita hadapi, tapi enjoylah. Aku punya sebuah amsal, kau ingin mendengarnya? Ayolah, hanya sebuah kisah! Dan kisah ini kisah yang karikatural, mungkin kau bisa tertawa mendengarnya. Ya, setidaknya tersenyum.

* * *

Suatu hari seorang yang penuh keraguan datang kepada ‘Yang Bijak’ dengan sebuah kegalauan. Ia bertanya. “ Wahai Guruku Yang Bijak, aku tinggal bersama istri dan anak-anakku juga mertuaku dan anak-anaknya yang lain, dan rumah kami begitu kecil sehingga rumah itu terasa sempit dan sesak. Sesak sampai ke hatiku, rasanya. Tolonglah aku bagaimana melapangkan dadaku, karena aku jadi tak keruan bekerja karenanya.”
Ia Yang Bijak bertanya, “ apakah kau memelihara kucing di rumah?” dan kemudian ketika sang murid menjawab tidak, serta merta Ia memberi jawaban seperti tanpa berpikir, “ peliharalah kucing!”
Sang murid yang begitu percaya kepada gurunya pulang ke rumah dengan membawa seekor kucing yang ditemukannya di jalan. Sampai satu hari ia kembali ke rumah Yang Bijak, dan kembali mengeluh ” Guru, kucing yang Engkau sarankan itu membuat pusing istriku dan tentu saja membuatku pusing juga.” Sang Bijak agak terlihat tersenyum, dan ia berkata “peliharalah kelinci di rumahmu.” Sang murid berkerut mukanya, tapi tak berani membantah dan pamit disertai ucapan terima kasih.
Kini di rumah sang murid terlihat keramaian yang riuh. Kucingnya yang ternyata betina tanpa diketahui siapa suaminya telah memiliki empat ekor anak kucing, begitu pula kelinci yang dibelinya sepasang telah memiliki keluarga kecil pula. Dan rumah yang kecil menjadi benar-benar sesak. Atas saran keluarganya si murid kembali ke gurunya dengan maksud bertanya, tak dinyana ia malah pulang dengan membawa kambing ke rumahnya. Setelah dua hari ia sudah merasa tak tahan lagi, dengan geram ia datang kepada gurunya. Di gubuknya yang sederhana Sang Guru menyambutnya dengan senyum. Kali ini dengan bijak Ia berkata, “lepaslah kambingmu!” Si murid pulang dengan sedikit lega. Kali lain ia datang lagi pada gurunya dan berkata “Guru, kini aku merasa sedikit lega, tapi itu tak cukup.” Sang Guru dengan bijak berkata “lepaskanlah kelinci-kelincimu, mungkin bisa kau berikan kepada orang yang senang memelihara kelinci.” Si murid kembali pulang dengan senyum. Beberapa waktu kemudian ia mendatangi gurunya dengan sedikit keraguan yang masih tersisa, “ Wahai Yang Bijak, sekarang aku merasa cukup lega, tapi terasa ada sedikit yang mengganjal?”
“Kalau begitu biarkanlah kucing-kucingmu keluar dari rumahmu” kata Sang Guru dengan senyum yang mengembang. Kali ini si murid merasa cukup puas dengan jawaban gurunya.
Beberapa waktu berlalu, guru dan murid itu bertemu di jalan, si murid dengan keriangannya berkata pada gurunya “terima kasih Guru, kini aku merasa sangat lapang..”

* * *

Bagaimana?
Tak cukup lucu? Ya sudah, mungkin aku yang gila karena telah berharap kau akan menjadi waras dengan cerita-cerita semacam ini. Mungkin aku perlu berkaca padamu, atau..
Ya, mungkin aku yang salah karena selalu bercerita seperti ini setiap kau datang padaku dengan masalah-masalahmu. Mungkin aku yang bodoh, sehingga kau jadi ikut-ikutan bodoh karena berteman denganku. Mungkin kau tak perlu ke sini lagi bila datang masalah kepadamu. Mungkin kau harus mencari sendiri; dan aku pun perlu mencari sendiri, untuk segala kebodohanku. Entahlah……………………………………………………………...

yang gerimis tak lain dewa/ dan awan hanya bayangan/ yang menjerit adalah hati,/ tetes air mataku jadi bayangan2


Banjarmasin, Pebruari 2008

Catatan:
1. Rumi; dari Masnawi
2. Anonim; Galla, Afrika

Lomba Baca Cerpen se-Kalimantan Selatan

Naskah: Hajriansyah (Monologila), Nailiya Nikmah (Episode Durian), Rismiyana (Hitam Putih Kotaku), Dewi Alfianti (Ujung Musim Penghujan Kali Ini), Ratih Ayuningrum (Dongeng Kesetian)

TM: 16 Mei 2009

Pendaftaran: Rp. 35.000

Durasi: 20 menit termasuk setting

Peserta: Umum se Kalimantan Selatan, 25 pendaftar pertama mendapat Antologi karya Nahdiansyah Abdi

CP: Miftahuddin Munidi (0511) 7146477, Hudan Nur 08170781239

FESTIVAL MUSIKALISASI PUISI TINGKAT SMA/SEDERAJAT 23-24 MEI 2009 Se-Kalimantan Selatan Auditorium Museum Lambung Mangkurat

LATAR BELAKANG

Sebagai komunitas kalangan muda yang mencintai seni dan segenap kehidupan seni dan asas kekeluargaan di dalamnya dan berkomitmen untuk memajukan sastra puisi secara berkala di Bumi Lambung Mangkurat dalam artian memperkenalkan kepada khalayak ramai tentang ragam pemusikalisasian puisi yang sampai hari ini mempunyai pakem yang sangat beragam antar daerah satu dengan daerah lainnya.

Melalui Festival Musikalisasi Puisi ini diharapkan setiap peserta dapat mempelajari dan membuat kreativitas dalam pemusikalisasian. Hasilnya diharapkan agar para pemenang menemukan rekadaya yang berkaitan dengan kreatifitas dalam unsur musikalisasi. Sehingga lahir kader baru dalam ruang yang baru dengan ide yang lebih kreatif, mengusung budaya Kalimantan Selatan.

TUJUAN

1. Meningkatkan kecintaan terhadap seni khususnya Puisi.

2. Memberikan pencerahan tentang ragam musikalisasi puisi se-Kalimantan Selatan.

3. Mengasah kreativitas yang mereka punyai lewat pakem inovatif musikalisasi puisi.



TEMA

Pada kesempatan ini tema yang diangkat adalah “Membangun Kreativitas Anak Banua Untuk Mengusung Tradisi Budaya Dalam Warna Musikalisasi Puisi”.



PESERTA

Peserta pada festival ini adalah pelajar SMA/SMK/MA/Sederajat di Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan.


PERSYARATAN

1. Peserta Festival Musikalisasi Puisi adalah Kelompok yang mewakili sekolah (SMA, SMK, MA) di wilayah Kalimantan Selatan.

2. Setiap Kelompok maksimal terdiri dari 6 orang dan seorang guru pembimbing.

3. Pendaftaran Musikalisasi Puisi dari tanggal 10 April 2009 – 16 Mei 2009.

4. Peserta dan pembimbing harus menyerahkan alamat lengkap, fotocopy identitas diri, surat pengantar dari kepala sekolah kepada panitia pelaksana.

5. Setiap sekolah diperbolehkan mengirim lebih dari satu kelompok sebagai peserta.

6. Peserta harus memilih satu buah puisi yang telah disediakan oleh panitia.

7. Peserta harus membawa alat music sendiri (alat music tradisional/akustik nonelektris)

8. Waktu tampil setiap kelompok maksimal 8 menit.

9. Panitia tidak menyediakan akomodasi.

10. Setiap peserta membayar regsitrasi sebesar Rp. 100.000,00



PENILAIAN

1. Penilaian dan penentuan pemenang dilakukan oleh Dewan Juri.

2. Penilaian mencakup: penafsiran puisi, vokal, komposisi musikal, keselarasan, dan penyajian.

3. Putussan tim juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat menyurat.



TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN



Kegiatan ini akan dilaksanakan di Auditorium Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan di Banjarbaru Pada 23-24 Mei 2009.



HADIAH

Pemenang I, II, II harapan I, II, III akan mendapatkan hadiah berupa piala, uang pembinaan dan piagam penghargaan dari Walikota Banjarbaru.

Total Hadiah Rp. 5. 000.000,00.



PENYERAHAN HADIAH

Penyerahan hadiah akan dilaksanakan pada 24 Mei 2009.



PENDAFTARAN

Peserta festival bisa mendaftakan di ke Book Café Rumah Cerita Banjarbaru, Jalan Rajawali Samping Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan di Banjarbaru Pukul 10.00 - 16.00 WITA.



PERTEMUAN TEKNIS

Pertemuan Teknis akan diadakan pada hari Sabtu, 16 Mei 2009 Pukul 15.00 WITA di Auditorium Museum Lambung Mangkurat.



LAIN-LAIN

Apabila ada hal-hal yang kurang jelas bisa ditanyakan langsung ke Saudari Hudan Nur (0817 078 1239) atau via email ke kanatoshi_ariwa@yahoo.com/ aukorganizer@yahoo.com. Dapat dilihat di www.aukorganizer.blogspot.com.





MATERI MUSIKALISASI PUISI PILIHAN







FREDY SREUDEMAN WOWOR

Sajak Orang Usiran


Juga ketika mereka duduki tanah leluhur ini
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain mencoba bertahan

Dan ketika mereka adakan penggusuran
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain terus berjaga

Tapi ketika mereka mulai main pukul
Kita tidak diberi pilihan lain
Selain berkeras melawan







DIAS BARADANU

Suatu Nanti



Di suatu nanti
perjalanan akan terasa semakin membingungkan
melalui bilangan yang tak lagi tercatat dalam kalender
dan
orang akan lupa menamai tiap pergantian malam dengan namanama hari.

Suatu nanti
matahari terendam kelabu
segenap penjuru sudah tak lagi mampu terbaca kompas
utara selatan timur barat benarbenar terabaikan.









CAPUNG DEWANGGA

Membawa Matahari



Mimpi yang kupahat
Hingga menjadi nisan membuncah
Melumut, mengeras
Aku,



Demi tulak rusuk kiriku tergenggam
Remuk redam
Biar aku membawa mentari
Biar aku memanggul salju
Biar aku menulis pelangi


Kebumen, 22 Desember 2007





D. ZAWAWI IMRON

Nenek Moyangku Airmata





“bisikkan kepada angin, perihal terompah kayu yang diketemukan di
gunung sejarah itu!” kata air bah yang tak sampai menimbulkan banjir.
Dahulu di gunung tu terjadi perang antara mentimun melawan durian.
Lewat luka mayat-mayat yang bergelimpangan, tersabdalah sebuah
firman, lantaran yang menag kekuasaan.

dan kabar yang ramai tersiar, di gunung itu ada bayang-bayang
menabur kembang.






ADIN

Aforisma



katakan padaku apa itu puisi
ia adalah sepi yang tak bisa diredam berkali
katakan padaku apa itu rindu
ia adalah ibu yang mendoakanmu selalu
katakan padaku apa itu cinta
ia adalah luka dan kita rela disalib olehnya
katakan padaku apa itu mati
ia adalah pergi sekaligus kembali
katakan padaku kapan kita henti kata
sayangnya tidak ada
karena kita sysiphus penanggung luka



02,21. 311008







LINUS SURYADI AG.

Lagu Larut Malam



Engkau buka daun jendela
kau buka gaun dan celana
Pada lengang larut malam
kau pun ngungun bersuara:

“Kita genggam malam larut
peluh ersatu peluh

Kita genggam hidup kusut
ruh berpelukan ruh”

Dinding pun terbuka lepas
batin penuh penyerahan

Meraba jagad tanpa batash
hanya dalam percintaan







KRIAPUR

Seperti Angin



seperti angin
maut masuk lewat jendela hari
yang terbuka
di langit yang penuh rahasia
jam menghembuskan musim luka



hutan kusam: ada gugur-mimpi
jejak-jejak bulan yang hapus
dan tidur pun kering
malam jadi asing



dan batu kali yang mencari
kebenaran di bumi akhirnya lari
menyeret pertanyaan sangsai
yang tak pernah selesai







ARIFFIN NOOR HASBY

Aku Menyimpan Laut



Aku menyimpan laut dalam mulutku
tapi angin terus mendesau di kepalaku
dan esok ketika kau
berdiri di pantai itu
lihatlah, dunia telah berdebar dalam perahu
dan dengarlah, ombak memberi peringatan
matahari telah tertinggal
dalam belulang kata-kata
yang kita lupakan dari kasidah pagi.

Lihatlah hujan bernyanyi di pantai itu,

Ujarmu
: perempuan telanjang di situ
memikul hati dari takdir sejarah
yang dipukul lelaki kalah.

2004